Menurut catatan sejarah, organisasi keagamaan yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini masuk ke Aceh pada tahun 1923, beberapa tahun kemudian terus berkembang pada wilayah pantai timur dan pantai barat, tetapi belum menyentuh daerah pedalaman. Pada akhir masa pemerintahan kolonial Belanda dan masuknya Jepang tahun 1942, cabang Muhammadiyah seluruh Aceh hanya berjumlah delapan.
Ada juga informasi yang menyebutkan pada tahun 1937 Muhammadiyah sudah masuk ke Kutacane, yang kemudian menjadi Ibu Kota Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues berada di dalamnya. Sayangnya, informasi ini tidak mempunyai data pendukung yang kuat. Namun, informasi ini mungkin juga benar adanya, karena Kutacane berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sarana hubungan ke daerah ini agak bagus.
Pada zaman Jepang, Muhammadiyah tidak dibubarkan tetapi tidak dapat berkembang karena disibukkan urusan perang, rakyat dipaksa menjadi Romusha membuat jalan untuk kepentingan militer Negara Matahari Terbit itu, sedangkan pemuda-pemudanya direkrut jadi serdadu seperti Heiho, Gyugun, Tokubetsu dan lain-lain.
Begitu juga setelah Proklamasi Kemerdekaan RI di kumandangkan Soekarno Hatta 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia masih berjuang mempertahankan kemerdekaan, gerak Muhammadiyah stagnan. Namun amal usahanya terutama sekolah-sekolah tidak mengalami hambatan berarti, setelah situasi normal pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda buah Konfrensi Meja Bundar (KMB), gerak Muhammadiyah kembali menggelora.
Muhammadiyah Cabang Gayo Lues sendiri terbentuk sekitar bulan Oktober tahun 1959. Susunan Pimpinan Cabang Muhammadiyah pada awal berdirinya ialah: Ketua : Tgk. Djamaan Fahmi (Mantan Anggota DPRD Aceh Tengan hasil pemilu 1955), Wakil Ketua : AB. Porang (Ketua Pengadilan Negeri Blangkejeren), Sekretaris I : Den Syarfuni ( Hakim Muda Asal Palembang) jebolan SMKA atau Sekolah Menengah Kehakiman Atas yang ditempatkan di Blangkejeren). Sekretaris II : M. Yousuf Maat ( ketika itu staf honor kantor hakim), Bendahara : Malim Darwin (Pengusaha) dilengkapi dengan bagian pendidikan, pengajaran, Tabligh, dan PKU.
Seterusnya berdiri pula Aisiyah, Nasyiatul Aisiyah dan Pemuda Muhammadiyah. Tugas utama Muhammadiyah ketika itu ialah mengambil alih PIM (Perguruan Islam Menengah) yang didirikan oleh Sabaruddin Aman Manis dan Sulaiman Aman Mun.
PIM adalah lembaga pendidikan yang sifatnya temporer ini adalah untuk menampung pelajar yang sekolah di Sumatera Barat pulang kampung libur puasa, tetapi tidak dapat kembali ke tempat belajar karena situasi keamanan akibat meletusnya peristiwa PRRI dan PERMESTA, tenaga pengajarnya juga di ambil dari siswa kelas tertinggi di pimpin oleh Ustadz M. Arifin perantau dari Minang, untuk dijadikan PGA Muhammadiyah.
Pada tahun 1962 untuk pertama kalinya Muhammadiyah Cabang Gayo Lues mengirim utusannya ke Muktamar Muhammadiyah ke 40 di Jakarta, yaitu Tgk. Djamaan Fahmi dan Tgk. M. Hasan Porang.
Ketika itu Ranting Muhammadiyah sudah berdiri di Kutapanjang dan Rikit Gaib, bahkan Pemuda Muhammadiyah telah mempunyai Drumband.
Ketua Muhammadiyah Gayo Lues Tgk. Djamaan Fahmi meninggal dunia pada tahun 1970 akibat kecelakaan sewaktu akan memadamkan kebakaran di Gang Tengah Kota Blangkejeren.
Pada tahun itu SD Muhammadiyah berdiri menggantikan PGA yang sudah bubar dipimpin oleh Hasan Basri tetapi belum terdaftar.
Seiring perjalan waktu dari tahun 1972 sampai tahun 1978 Pimpinan Cabang Gayo Lues di ketuai oleh Tgk. Sabarudin Aman Manis dan sekretarisnya M. Arifin Ismail.
Pada tahun itu pula SD Muhammadiyah resmi didaftarkan dan di pimpin oleh Burhanudin, pensiunan Kepala Inspeksi TK/SD hingga tahun 1978.
Dari tahun 1978 hingga 1980 di kepalai oleh Syamsuddin Said (penulis), kemudian silih berganti oleh guru-guru PNS, karena gurunya semuanya PNS.
Pada tahun 1978 Muhammadiyah Cabang Gayo Lues, diketuai oleh M Arifin Ismail dan sekretarisnya Bahrinsyah. Dibawah kepemimpinan mereka ini banyak kemajuan yang dicapai dalam bidang pembangunan, antara lain: renovasi Masjid Taqwa Muhammadiyah berlantai dua di Kota Blangkejeren.
Meskipun pada tahun 1990 masjid ini mengalami kerusakan akibat gempa bumi, namun masjid ini masih kokoh berdiri sampai sekarang, dan tetap digunakan sebagai sarana ibadah jum’at dengan jama’ah yang cukup ramai. Lantai dua masjid ini digunakan sebagai perkantoran.
Dan sejak terbentuknya Kabupaten Gayo Lues tahun 2002, status cabang ditinggatkan pula menjadi daerah, membawahi beberapa cabang yang diantaranya masih status persiapan.
Adapun amal usaha Muhammadiyah lainnya adalah bangunan beberapa kios dan sebuah toko (disewakan), pertapakan sekolah dan gedung yang kini di tempati TK Bustanul Athfal dan Paud Aisiyah serta tiga ruang belajar bantuan BRR. Hanya SMP Muhammadiyah yang tidak dapat bertahan hidup karena kalah bersaing dengan SMP Negeri.
Sebagai anggota Muhammadiyah, penulis mempunyai kenangan manis atas kehadiran organisasi ini di Gayo Lues yang dapat julukan Negeri Seribu Bukit, justru karena ketika penulis jadi guru dan kemudian dipercaya menjadi kepala SD Muhammadiyah Blangkejeren dapat membaca majalah Suara Muhammadiyah dan Suara Aisiyah yang dikirim kepada Pimpinan Cabang Muhammadiyah Gayo Lues.
Ditulis oleh Samsuddin Said
Tulisan ini dimuat dan disadur oleh Drs. Buniyamin S sesuai aslinya dari rubrik “wawasan” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 11 tahun 2015.