Oleh: Abdul Karim Kemaladerna
Tawar Negeri, sebuah ritual yang mirip dengan ruwatan dalam budaya Jawa.
Tawar Negeri merupakan pagelaran budaya pada suku Gayo berupa sebuah acara ritual dengan maksud agar terhindar dari keburukan dan muhasabah serta bermunajat kepada Allah SWT atas keselamatan bagi seluruh anak Negeri.
Nilai nilai yg terkandung dalam tahapan acara tersebut bertujuan untuk menyadarkan dan introspeksi diri terhadap perilaku yang barangkali menjadi penyebab tertimpanya bencana, kekisruhan dan malapetaka terhadap sebuah negeri.
Boleh jadi tawar negeri merupakan budaya nenek moyang sebelum datangnya islam yang kemudian dalam perkembangannya mengalami pergeseran seiring masuknya islam ke Gayo Lues. Tidak ada catatan pasti untuk itu.
Seingat penulis setelah pemekaran Kabupaten Gayo Lues pagelaran budaya tersebut baru diadakan satu kali yakni pada tahun 2005 pada saat Ir. Muhammad Alikasim memerintah. Sebelumnya yang pernah saya saksikan ada beberapa kampung besar di Gayo Lues juga pernah melaksanakan acara ini disekitar tahun 1960an.
Kembali kita kepada makna dari acara tersebut yang intinya adalah mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan negeri dan dijauhkan dari bencana serta malapetaka.
Apakah Gayo Lues sudah perlu melaksanakan acara tersebut atau paling tidak melakukan muhasabah bersama, mengingat bertubi tubinya berbagai peristiwa yg terjadi di Gayo Lues akhir akhir ini, seperti kebakaran yang sambung menyambung, peristiwa sosial seperti pembacokan, pembunuhan dan juga kesulitan ekonomi yang dialami negeri ini. Terlebih lagi sebentar lagi negeri ini akan melaksanakan pilkada. Dengan harapan musibah demi musibah tidak akan terulang lagi.
Barangkali seperti sebuah syair dari lantunan lagu Ebiet G Ade, coba kita bertanya kepada rumput yg bergoyang yang maknanya kita bertanya kepada orang alim, ulama dan orang orang yang berjiwa bersih. Wallahu a’lam bisawaf.
Penulis adalah anggota DPRK Gayo Lues.