Oleh: Sulaiman Datu
Keputusan Mahkamah Agung melarang seorang bekas narapidana korupsi mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif adalah keputusan yang seharusnya berlaku sejak awal reformasi.
Terutama setelah negara membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pernyataan perang terhadap praktik rasuah yang mewabah.
Seorang narapidana korupsi boleh saja merasa berhak mendapatkan kedudukan lagi setelah menjalani hukuman. Penjara menjadi tempat “pencucian”, dan setelah keluar, hak-haknya sebagai seorang warga negara memang dipulihkan.
Tapi tidak untuk urusan politik. Jangankan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif atau kepala daerah, duduk menjadi pengurus partai politik, apalagi sebagai ketua partai politik, saja dia tidak berhak. Tapi ini jelas membutuhkan standar etika yang tinggi di saat-saat seperti ini, sulit mencari sosok seperti itu.
Di alam demokrasi setelah rezim Soeharto tumbang, peran partai politik diharapkan menjadi pilar penyangga baru kehidupan bernegara setelah selama ini dikooptasi oleh kekuasaan yang militeristik. Partai politik bertugas untuk menyiapkan kader-kader terbaik untuk memimpin masyarakat, baik di tingkat eksekutif ataupun legislatif.
Setiap kader diberikan hak yang sama untuk bersaing lewat gagasan dan pikiran untuk menghasilkan kehidupan bernegara yang lebih baik dan sejahtera. Partai politik adalah saringan rakyat untuk mendapatkan orang-orang terbaik. Tidak hanya cerdas, namun juga tidak memiliki kecacatan etika.
Hal itu tidak mustahil sepanjang partai politik benar-benar digunakan sebagai tempat kaderisasi. Saat partai politik sampai ke titik itu, maka rakyat dapat belajar berdemokrasi.
Umur reformasi memang masih baru. Di negara-negara yang bertransisi dari model otoriter ke pemerintahan demokratis, butuh waktu lebih lama untuk menghapus budaya militerisme dan otoriter, terutama di partai politik. Bahkan di dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi laboratorium demokrasi, budaya senior tidak pernah salah, sebagai salah satu budaya otoriter, masih sangat kental.
Keputusan MA itu adalah bagian dari menghapus budaya yang salah dalam demokrasi. Lewat keputusan ini, diharapkan partai politik benar-benar selektif memilih calon untuk didudukkan sebagai anggota legislatif. Dan alangkah bijaksana jika bekas narapida kasus korupsi mengundurkan diri dari pencalonan, ketimbang dimundurkan.
Penulis adalah mantan Penyelenggara Pemilu (KPU/KIP) Kota Langsa, Aceh 2003 – 2008