Pagi ini kata seorang teman, kami kedatangan dua orang Ibu Ibu dengan membawa seorang anak kecil. Satu orang istri seorang oknum PNS dan satu lagi bersuamikan seorang sopir serabutan.
Mereka ternyata sudah datang dihari yang masih gelap menunggu hampir satu jam diberanda rumah. Kami kaget mendengar dua orang ibu ibu ini bercerita tentang bagaimana susahnya hidup saat ini.
Tanpa mereka sadari saya menguping mendengar mereka berkisah tentang bagaimana mereka sulitnya memenuhi kebutuhan dasar yaitu beras yang harus ada untuk beberapa mulut yang menunggu dirumah.
Saya terenyuh mendengar obrolan mereka tentang kredit beras yang mau tidak mau terpaksa harus mereka ambil dari seorang rentenir. Alkisah Rentenir saat ini ternyata cukup kreatif, tidak hanya membungakan uang tetapi juga mengkreditkan beras.
Dari satu kaleng beras yg mereka ambil dengan harga Rp 230.000, harus dicicil setiap hari dan harus lunas dalam satu bulan dengan jumlah Rp 300.000.
Rentenir ini merajalela diberbagai relung dan peluang usaha yang mereka anggap menguntungkan. Pelakunya ada yang berkedok Koperasi dan ada pula oknum yang harusnya pemberi rasa aman.
Itulah realita yang dihadapi golongan bawah, bagaimana mau berdemokrasi seperti dinegara maju ditengah perut keroncongan. Bila ingin melihat dengan mata kepala sendiri cobalah pergi ke pajak pagi dan perhatikan ada manusia congkak ysng memarahi ibu ibu pedagang yang tertunduk lesu menerima omelan karena terlambat membayar cicilan kredit.
Siapa yang bersalah dari semua peristiwa tersebut diatas. Apakah saya merasa bersalah, atau kamu atau kita semua yang salah. Yang jelas kejadian ini nyata di pajak pagi Gayo Lues, Wallahua’lam bi sawaf. (A. Mir Peramane).