Pusat Kajian Kebudayan Gayo mengadakan kegiatan Bincang “Sosok, Peran, dan Perjuangan Kolonel Muhammad Din Masa Agresi Militer Belanda (1946-1949)” secara daring melalui Zoom Meeting yang domoderatori Yusradi Usman Al-Gayoni,Jumat malam 28/3/2022.
Muhammad Din merupakan kolonel pertama di Sumatera yang berasal dari Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Bincang tersebut menghadirkan sejarawan sekaligus akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Johan Wahyudi, M.Hum. dan Uwin Bahramsyah, cucu Kolonel Muhammad Din.
“Orang tua Muhammad Din bernama Dawi, bermarga Nasution. Dawi merupakan pangeran di Sipirok. Dawi pergi ke Belang Kejeren. Kemudian, menikah dengan Syarifah asal Rikit Gaib dan tinggal di Penampaan. Datu Dawi jadi pengulu pertama di Belangkejeren dan makamnya pun ada di Penampaan. Setelah menikah, lahir Muhammad Din dan besar di Kampung Penampaan. Sempat sekolah Belanda, Hollandsch Inlandsche School (HIS),” kata Uwin Bahramsyah
>Diakui Uwin Bahramsyah, dia mendapatkan informasi tentang kakeknya Kolonel Muhammad Din dari artikel, data-data, dan tulisan tangan dari Kolonel Muhammad Din sendiri. Ada juga ketikan yang ditandatangani Daud Beureueh.
“Sebelum berperang, Muhammad Din adalah guru ngaji, tengku (ustaz) di Belangkejeren. Di antara muridnya istri AK Yacobi dan AK Yacobi sendiri. Karena panggilan perang, dia bergabung perang. Maskasnya di Kampung Jawa, disebut Barisan Sinar Terang, yang pasukannya orang-orang Gayo. Muhammad Din punya kelebihan komunikasi, menyakinkan orang, sehingga orang mengikutinya,” sebut Uwin Baramsyah
Win Baramsah
Dilanjutkan putra Rafiudin tersebut, tahun 1926, terjadi pemberontakan di Belangkejeren oleh pemuda-pemuda Gayo. Pemberontakan itu berujung kegagalan karena ada mata-mata Belanda dari orang Gayo sendiri.
“Akhirnya, M. Din tertangkap, dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya (sekarang: Provinsi Papua). Teman-temannya dibuang ke Suka Miskin. Di situlah pertama kali Muhammad Din bertemu dengan Soekarno. Tidak berapa lama kemudian, M. Din melarikan dari penjara dari Boven Digul. Menurut informasi, berenang pakai kelapa yang diikat tali, berenang cukup jauh dari Papua ke Sumatera, berbulan-bulan,” sebutnya.
Sampai di Sumatera, jelasnya, Muhammad Din bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA). Dalam PETA, ikut pula tentara-tentara Gayo, dari Takengon sampai Belangkejeren, dipimpin M. Din. Awal sampai akhir 1946, M. Din menjabat Komandan Divisi Banteng VI Sumatera di Sibolga, dengan pangkat Kolonel. Pindah ke Siantar tahun 1947 sampai agresi II, sebagai KMP (Korps Marhos Pengawal), dengan pangkat Kolonel.
“Info dari nenek, istri Muhammad Din, Item binti H. Karim asal Tampeng, M. Din pernah ditembak dari jarak 7 meter. Saat perundingan, beberapa hari sebelum agresi militer Belanda, M. Hatta ada di Pematang Siantar. M. Din mengawal M. Hatta. Belanda mau menembak M. Hatta. M. Din menutupi Hatta dan tertembak, 2 peluru di dada kiri. Akhirnya, perang pecah. Karena tidak seimbang, M. Din menarik pasukannya ke Kutacane,” tutur Uwin.
Disebutkan Uwin Bahramsyah, Kolonel Muhammad Din memiliki tiga anak. “Yang sulung, Rapiudin, juga di militer, tinggal di Jakarta, ayah saya. Lalu, Diana Merdeka. Ada merdekanya, karena lahirnya pada saat Indonesia merdeka, 1945. Terakhir, Bombardin. Dinamakan Bombardin karena M. Din terkena bom saat penyerbuan Belanda ke Kutacane. Ditembakkan bom ke arah M. Din, jatuh di depan M. Din, tapi tidak mati. Hanya bajunya yang hancur. Badannya tidak hancur. Kata A.K. Yacobi, M. Din punya ilmu antitembak. Kena tembak di dada sebelah kiri dan kena bom, tapi tidak mati,” cerita Uwin.
Fazri Gayo
Dilansir dari Lintas Gayo.com
28 Agustus 2022.